DESA PERLANG
1. Kondisi Desa
1.1.
Sejarah Desa
Pada
jaman dahulu desa Perlang
menurut dari beberapa penuturan cerita turun temurun generasi ke-4 dan ke-5
awalnya berasal dari kampung TUA TUNU yang berada sekarang di daerah Kota Madya
Pangkal Pinang. Kalau diperhatikan dan didengarkan penuturan bahasanya maka
dialeknya sama dengan Masyarakat kampung Tua Tunu, Selindung Baru, Batu Rusa,
Balun Ijuk dan sebagian Masyarakat di Pangkal Pinang.
Awal ihwal berpindahnya masyarakat
Tua Tunu generasi pertama yang mendiami desa Perlang ini, ada kaitannya dengan
Perlawanan dan perjuangan. pahlawan kita yaitu Depati Amir pada Tahun kurang
lebih 1891 sampai 1902. Kampung Tua Tunu adalah satu akibat yang harus di
tanggung bersama dalam melawan dan menentang penjajah kolonial Belanda, yang
akan menjajah pulau Bangka tercinta, sebab perang yang terjadi karena
Kesultanan Darussallam Palembang sudah
tidak bisa lagi membantu Bangka disebabkan oleh kalah perang terhadap Belanda.
Maka Bangka harus berjuang sendiri dalam mempertahankan daerahnya.
Kampung Tua Tunu lama yang paling
ujung atau kampung pertama dibakar Belanda hingga habis terbakar sebagian
(menurut orang-orang tua sebenarnya yang membakar kampung itu adalah bangsa
Indonesia yang manjadi pasukan Belanda) sebab pembakaran itu kampung itu adalah
Belanda kesal terhadap masyarakat Tua Tunu yang selalu tutup mulut, membantu
dan melindungi Depati Amir serta Pasukannya, baik secara tenaga maupun bahan
makanan serta tidak mau menunjukan dimana Depati Amir berada, akibat kekesalan
itu Belanda lalu mambakar kampung Tua Tunu.
Masyarakat kampug Tua Tunu setelah
mendapat musibah tersebut banyak yang melarikan diri kehutan-hutan dan ada yang
langsung pindah kekampung lain sehingga tidak kembali lagi, salah satunya
adalah keturunan dari Masyarakat Perlang, cerita awal setelah pembakaran
kampung Tua Tunu, beberapa keluarga terdiri dari belasan orang tua dan muda
(jumlah tidak jelas) berimigrasi kearah selatan dengan tujuan mencari
keselamatan jiwa keluarga serta mencari penghidupan yang baru, yaitu berladang.
Diketahui selama perlawanan Amir rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir
terhadap Belanda telah membuat masyarakat Bangka umumnya selalu dihantui rasa
was-was untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari takut terjadi apa-apa terhadap
keluarga mereka disamping susah bercocok tanam.
Kembali kecerita belasan orang
dari kampung Tua Tunu yang pergi kearah selatan, setelah beberapa seminggu
(diperkirakan 4 minggu) menyusuri pantai Bangka arah keselatan, mulai dari Pangkal
Pinang terus sampai ke Kurau lalu menyeberang sungai karena tanah tidak cocok
untuk berladang lalu pindah lagi ke Penyak, Guntung, Arung Dalam dan terakhir
istirahat agak lama di Koba, tetapi di Koba pun sama, tanah kurang subur dan
masyarakatnya sudah banyak serta adat istiadat yang berbeda. Lalu rombongan
berjalan terus setelah ijin dan pamit kepada Demang Koba, juga saran dari
Demang supaya mereka kearah selatan karena disana masih ada hutan rimba yang
belum dijamah olah masyarakat, perjalanan menyusuri pantai hingga sampailah
pada suatu tempat dipinggir pantai, dimana mereka melihat ada daerah yang agak
tinggi lalu mereka ketempat itu (daerah dekat Perlang) setelah mereka bersetuju
maka tinggallah mereka disana langsung membuka ladang sambil pergi melaut,
tempat tinggal mereka ini dinamakan RIMBA GUNTUNG artinya hutan yang
menggantung (kalau dari Desa sekarang kurang lebih 4 pal atau sama dengan 2,5
Km). Berimba guntung para pemukim ini hidup menetap kurang lebih dari 2 Tahun
dengan aman, tenang serta damai.
Masa Sedih
Setelah
bermukim pada suatu ketika dari salah satu keluarga pemukim itu mengalami
musibah, yaitu ada anak kecil yang meninggal dunia (tidak diketahui oleh
narasumber yang meninggal anak laki-laki atau anak perempuan). Akibat meninggalnya
salah satu anggota keluarga tersebut, seluruh pemukim mengalami kesedihan yang
berpanjangan, menyebabkan adanya keinginan pemukim untuk pindah tempat (rumah)
lebih kearah darat atau gunung.
Asal Usul Nama Perlang.
Akibat
meninggalnya anak kecil tersebut maka masyarakat pemukim sepakat untuk segera
pindah kearah lebih kedarat atau gunung, setelah sepakat serta hari yang
ditentukan mulailah berangkat sekelompok kecil mencari daerah yang baru untuk
tempat tinggal dan berladang, perjalanan pencarian tempat baru itu dimulai dari
tempat mereka bermukim yaitu rimba guntung dengan menyusuri arah sungai kearah
hulu dengan tujuan menghadap kegunung (bukit) hingga beberapa kali ulang sambil
merintis jalan baru.
Setelah
berjalan lama dan berulang bebera kali menyusuri sungai lalu sampailah mereka
pada ujung sungai yang menyempit (sekarang kira-kira berada dijembatan sungai
dikampung payak), setelah dilihat, dicek dan dirasa tanah dan tempatnya cocok
lalu bersepakat dan bersetujulah mereka untuk tinggal dan menetap serta
berladang disini (daerahnya agak menurun).
Sehabis mendirikan pondok
dan ladang, masing-masing dari mereka beramai-ramai bergotong royong membuat
jalan dari arah atas ke sungai, pada saat membuat jalan dari arah sungai mereka
dikejutkan oleh ada seekor elang sedang mencari ikan di sungai sambil
menghentak-hentakkan sayapnya di air (bahasa kampungnya ngeper-ngeper) lalu
mereka sepakat untuk menyebut daerah ini dengan nama per-per lang atau Perlang.
Asal Mula Berdirinya Masjid
Karena
kebutuhan akan ibadah yang lebih baik terutama hari jumat dan acara kegiatan
lainnya maka bergotong-royonglah masyarakat secara kompak, ada yang menyumbang
uang, kayu, genting sampai tenaga sepenuhnya, bersama-sama membangun dan
membuat masjid yang didambakan, awalnya berdirinya masjid bentuknya adalah
seperti rumah panggung, bahannya dari kayu balokan yang dibuat papan, yang
dikerjakan secara bertahap bersama sampai selesai.
Lalu
beberapa puluh tahun kemudian kurang lebih tahun 1937 karena masyarakat diberi
keluasan rezki oleh Allah SWT terutama hasil karet dan ladanya, serta jumlah
masyarakat (jamaah) yang semakin banyak maka atas usul bersama mereka mufakat
serta sepakat untuk membenahi dan memperbaiki bangunan tersebut bentuknya
setengah permanen dimana lantai di tanah dan bahan bangunan dari papan juga
secara gotong royong.
Selanjutnya
belasan tahun kemudian masjid itu dibuat secara permanen dengan menggunakan
semen, pada bagian dalam masjid terdapat 4 pilar kayu yang menunjukkan bahwa
keempat pilar itu saksi bisu cerita bagaimana masyarakat bekerja bersama-sama
dengan gigih, bersemangat membangun masjid. Keempat pilar tersebut bukan
sembarang kayu dan asalnya dari tiga tempat, dimana satu batang pilar dari
daerah Meliye yang jaraknya sekitar 5 Km, dua batang pilar dari arah gunung
yaitu daerah pengumbut yang jaraknya kurang lebih 3 Km dan satu batang lagi
berasal dari daerah sadap. Cara memilih kayu pilar ini bukanlah sembarangan
,memang dipilih kayu yang keras dan kuat, yaitu kayu memaluh. Awalnya cara
pengangkutan kayu pilar itu adalah sangan berat yaitu diangkut secara
bersama-sama dengan cara dipikul, setelah ditebang menurut para narasumber
pengangkutan itu bukanlah mudah, waktu mereka mengangkut satu batang pilar
memakan waktu dari nadi sadap saja dari pukul 7 pagi sampai pukul 4 Sore sampai
kekampung ini menunjukan betapa semangat kebersamaan dan beratnya pilar serta
jauhnya daerah kayu pilar bukanlah suatu halangan untuk maju, walaupun hanya
berbekal nasi satu sumpit dipinggang masing-masing, setelah selesai kayu pilar
dikumpulkan maka mulailah perampungan masjid dikerjakan hingga terbentuk masjid
sekarang ini (masjid yang Lama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar